Tentang FASILITAS PELINDUNG (FasPel) dan FASILITAS BELAJAR (FasBel) untuk anak.
Bedanya apa?
Gimana caranya?
Apa efeknya?
Dll dsb dkk.
Fasilitas Pelindung (FasPel) itu kodrat orangtua.
Ortu gak perlu susah-susah belajar jd fasilitas pelindung karena emang secara naluriah pasti pengennya melindungi anaknya.
Nah tapi pertanyaannya, sampai kapan orangtua bisa melindungi anaknya?
Anak suatu hari akan besar dan..
Anak suatu hari akan jadi besar dan harus mampu berdiri sendiri.
Anak suatu hari harus jd dewasa.
Harus bisa berpikir sendiri, memutuskan pilihan hidupnya sendiri,
memikirkan solusi hidupnya sendiri,
dan merasakan resiko dari keputusannya sendiri.
Gimana caranya menuju ke situ?
Cara agar orangtua bisa mengantar anak ke titik dewasa (dengan definisi seperti tweet sebelumnya), orangtua harus berupaya keras menjadi FASILITAS BELAJAR utk anaknya.
Utk jadi fasilitas Belajar (FasBel) ini, rada melawan naluriah orangtua.
Butuh energi besar, butuh konsisten.
Contoh perbedaan FasPel dan FasBel.
Ortu dengan karakter Fasilitas Pelindung, biasanya gak mau anaknya susah.
Gak mau anaknya repot.
Juga gak mau dirinya sendiri repot.
Gak mau liat anaknya kecewa, gak mau denger anaknya mengeluh, gak pengen anaknya menerima resikonya sendiri.
Jadi Fasilitas Pelindung (FasPel) ini mudah di awal hidup anak.
Tapi makin lama, makin bertambah umur anak, makin susah pula ortu buat selalu melindungi anaknya.
Yg terjadi biasanya, ortu yg berusaha selalu melindungi anaknya, suatu hari akan kelelahan, dan minta anaknya dewasa.
Tapi karena anaknya ya gak ada yg memfasilitasi untuk belajar dewasa, jadilah si anak sbg orang gede aja.
Orang gede dengan mental masih anak-anak.
(Lalu biasanya orang gede ini punya anak lagi sebelum dirinya dewasa.
Jadilah spiral generasi yg gak paham dewasa itu kayak apa)
Semakin bertambah usia anak, ortu akan minta anak untuk menjadi dewasa.
Ya tapi sulit, lha wong ortu yg FasPel ini tidak pernah melatih proses dewasanya.
Kan gak ada ulat yg hari ini masih makan daun, mendadak besok udah terbang jadi kupu-kupu.
(Eh ada gak sih?)
Nah, untuk..
Nah, untuk proses melatih anak menuju pribadi dewasa, orangtua perlu berusaha jadi FASILITAS BELAJAR (FasBel).
Jadi FasBel ini berat, karena kadang ya harus menekan segala rasa yg merupakan naluri orangtua.
Jadi FasBel, sulit di awal.
Tp makin anak gedhe, makin mudah rasanya.
Contoh untuk jd Fasilitas Belajar (FasBel) anak, ortu harus siap liat anaknya bersusah payah.
Ortu harus siap liat anaknya merasa kecewa (dengan output si anak nangis, kesal, dll dsb).
Ortu harus siap gak ikut campur ketika anak-anaknya bertengkar (selama masih adil dan aman).
Lanjuuut soal Fasilitas Pelindung (FasPel) dan Fasilitas Belajar (FasBel).
Ortu biasanya terjebak pada peran sebagai FasPel, krn mereka ketinggalan jaman dari anaknya. Karena kehidupan anak sekarang udah beda banget dengan jaman ortu kecil dulu.
Teknologi mempengaruhi perilaku.
Ortu perlu hati-hati mengelola dirinya sebagai FasPel atau sebagai FasBel.
Ortu harus bisa menelisik celah kapan harus jd FasPel, kapan harus jd FasBel, tanpa harus memaksakan diri/situasi.
Peran FasPel-FasBel yg gak dilakukan konsisten dan gak lahir batin, bisa membuat..
..bisa membuat anak gagal dewasa, dan bisa berakibat anak jadi berkubang dlm kemarahan.
Begitu konsultasi dengan #MasPsikolog soal cara mendewasakan anak, ternyataaa daku ditanya balik.
"Ortunya sendiri udah dewasa belum? Pengen anaknya jadi dewasa, ortunya udah bisa meneladani cara jadi dewasa belum?"
GLEK.
JLEB.
AAAAAAAKKK HAHAHAHAHAHAHA SIALAN.
#MasPsikolog: "Rating jadi ortu itu emang buat yg dewasa sih.
Ya gakpapa.
Kalo sadar bahwa diri sendiri belum dewasa, bisa belajar dewasa bareng anaknya."
Glek.
Siap, Mas. Hahaha.
Oleh karenanya tercipta obrolan2 seperti thread ini.
Tugas jadi ortu yg sudah dewasa ini berat, kata #MasPsikolog.
(Fiuh..)
Musti sanggup jadi teladan, jadi teman, dan jadi konsultan.
Bukan jd komandan yg nyuruh2 anak ikuti maunya ortu.
Atau lebih parah, kadang ortu pengennya jadi Tuhan yang maunya nentuin nasib anak.
Eh sebenernya rumusan peran ortu jd teladan, jd teman dan jd konsultan ini udah dituturkan Ki Hajar Dewantara 100 tahun lalu.
Ing Ngarso sung tulodho.
(Di depan jd teladan)
Ing Madyo mangun karso.
(Di tengah membangun karsa)
Tut wuri handayani.
(Di belakang mengarahkan)
Ortu yg biasanya maunya terus2an jd Fasilitas Pelindung, biasanya punya pola:
• di depan jd komandan
• di tengah jd oposan/lawan
• di belakang jd Tuhan.
Saat anak belum bisa, ortu jd komandan.
Saat anak mulai bisa, ortu jd oposan/lawan.
Saat anak udah bisa, ortu jd Tuhan.
Ortu yg berproses utk Fasilitas Belajar (FasBel), polanya akan:
• saat anak belum bisa, ortu di depan jadi teladan
• saat anak mulai bisa, ortu di samping jadi teman.
• saat anak udah bisa, tugas akhir ortu di belakang jadi konsultan/kamus.
Konsultan itu kerjaannya ngapain?
Konsultan itu kayak kamus.
Kita kalau buka kamus itu kapan?
Kalau butuh informasi.
Kalau lagi gak butuh informasi dan ternyata bisa sendiri, kan kita gak buka kamus ya kan ya kan.
Kalau ortu gagal jd teman, kesempatan ortu gagal jd kamus anakpun makin besar.
Itu kenapa..
Itu kenapa ada fenomena anak2 remaja yg lebih seneng nanya temennya, atau nanya org lain buat persoalan pribadinya, ketimbang nanya ortunya (yg melahirkan dan membesarkan dia dari kecil).
Ya krn ortunya gak MADYO MANGUN KARSA.
Gagal jd teman, sehingga gagal jd kamus andalan. 😐
Nah soal belajar jadi dewasa, tujuan awal belajar ini adalah jadi TERBIASA.
Bukan jadi BISA.
Jadi untuk jd FasBel anak agar dewasa, ortu perlu KONSISTEN.
Konsisten ini bukan tega.
Kalau tega, berarti membiarkan anak celaka.
Tantangan BELAJAR, adalah situasinya pasti gak enak.
Karena situasinya gak enak, maka anak jadi gak nyaman.
Kalau gak nyaman, maka anak akan memaknai sebagai GAK USAH DILAKUKAN aja.
Kenapa kok gitu?
Ya karena orientasi berpikir anak-anak adalah ENAK VS GAK ENAK.
Sedangkan orang dewasa orientasinya adlh PERLU VS GAK PERLU.
Ketika anak gak nyaman dlm proses belajar dewasa, bersiaplah disebelin sama anak.
Ketika anak melakukan kesalahan, biarkan saja dia merasakan akibatnya, asal masih aman (tidak membuat celaka).
Salah itu adalah HAK.
Salah akibatnya GAK ENAK.
Kalau gak enak maka GAK DIULANGI.
Jadi KONSISTEN ini, artinya orangtua memberi kesempatan anak menanggung konsekuensi atas pilihan tindakannya.
Juga konsisten memberikan kesempatan anak utk merasakan kecewa.
Anak butuh belajar kecewa utk bisa mengekspresikan emosi dengan aman + nyaman.
Sehubungan dengan kisah kasus kehebohan yg terjadi kemarin (YANG MANA TIK?!), daku jadi ingat konsep #MasPsikolog memperlakukan orang ketika lagi "berulah".
Jadi ada 2 dasar penggerak perilaku seseorang.
1. EMOSI 2. STRATEGI.
Gimana taunya?
Dirasa. ^^
Bukan dipikirin. Dirasa.
Kita bahas perilaku yg terjadi karena digerakkan EMOSI dulu ya.
1. Biasanya perilaku itu adlh LETUPAN ENERGI yang menyertai pengalaman emosional. Baik yang menyenangkan maupun yang menyebalkan.
2. Perilaku yg digerakkan emosi ini, terjadi DI LUAR KENDALI PIKIR.
Refleks. Alami.
Karena di luar kendali pikir, ekspresinya akan alami. Atau ya berupa reflek sebagai hasil belajar.
Maksudnya HASIL BELAJAR tuh gimana?
Misal, anak yg sering liat Bapaknya marah-marah dgn banting pintu, kemungkinan besar si anak akan banting pintu jg kalo marah.
Hasil belajar.
Kata #MasPsikolog, ketika kita menghadapi situasi sulit, pilihan kita ada 3.
1. Kuasai 2. Adaptasi 3. Selamatkan diri
Ini daku mau bahas apa kata si Mas soal ADAPTASI.
Karena dlm hidup ya kadang kita gak punya wewenang utk menguasai.
Dan gak punya celah utk selamatkan diri.
Jadi kata si #MasPsikolog, ketika kita gak bisa menguasai keadaan tapi juga gak bisa pergi menyelamatkan diri, berarti satu-satunya pilihan ya BERADAPTASI.
Naaah tantangan paling berat ketika pengen beradaptasi adalah:
BUTUH KESANGGUPAN KITA BUAT MERASAKAN SISI GAK ENAKNYA.
Sanggup itu yg gimana sih?
SANGGUP = MAU + MAMPU.
Kalau mau, tapi gak mampu, berarti ya gak sanggup.
Dan sebaliknya.
Kenapa kok adaptasi itu harus SANGGUP MENGHADAPI rasa gak enak?
Yaa krn kita hrs mengubah diri UTK SELARAS dgn situasi yg gak ngenakin buat kita.
Katanya, kita harus menghindari orang-orang yang toxic.
Tapi bagaimana kalau ternyata yang toxic buat dirimu itu orangtuamu sendiri?
Bagaimana kalau ternyata orangtuamu yang rajin menanamkan pikiran-pikiran negatif ke dirimu?